"Orang yang Melihat Bisa Membaca Al Quran, Kenapa Saya Buta Tak Bisa?
Jari telunjuk Pipit Miatun (23) terus meraba kertas yang ada di pangkuannya. Seiring dengan itu, lantunan ayat suci Al Quran mengalun dari mulutnya.
Pipit, biasa ia disapa, merupakan salah satu penyandang tunanetra.
Remaja kelahiran Desa Munggut, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun itu tidak bisa melihat sejak lahir. Alhasil, ia tidak bisa membaca seperti orang normal pada umumnya. Termasuk saat membaca Al Quran.
Ia harus menggunakan Al Quran khusus. Yakni Al Quran dengan huruf arab braile, tulisan menggunakan sistem titik atau benjolan kecil pada permukaan kertas. Membacanya harus dengan menggunakan naluri perabaan.
Bacaan Al Qurannya sama. Ibaratnya orang jalan tekniknya yang berbeda," kata Pipit menganalogikan teknik pembaca Al Quran dirinya dengan orang yang bisa melihat di sela - sela tadarus di Masjid An Nur di UPT Rehabilitasi Sosial Bina Netra, Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, Kota Malang, Senin (29/5/2017).
Pipit merupakan salah satu dari 105 penghuni di pusat rehabilitasi tunanetra itu. Ia belajar membaca Al Quran bersama 15 rekannya di lokasi tersebut.
Bagi Pipit, secara kemampuan intelektual orang cacat bisa seperti orang normal pada umumnya. Motivasi itu lah yang membuatnya rajin belajar membaca Al Quran dengan segala kekurangan yang dimilikinya.
Biasanya, ia membaca Al Quran selepas shalat wajib. Selama 30 menit ia membaca Al Quran.
Khusus untuk bulan Ramadhan ini, ia menambah waktunya membaca Al Quran dengan tadarus dengan sesama penyandang tunanetra lainnya.
"Saya memandang orang normal. Orang yang (bisa) melihat bisa membaca, kenapa saya buta tidak bisa," katanya.
Tidak mudah bagi Pipit untuk belajar membaca Al Quran. Ia mengaku sampai menangis karena kesulitan memahaminya.
"Awal belajar sampai nangis - nangis. Guru saya keras orangnya. Seminggu tiga kali pertemuan. Tapi alhamdulillah satu bulan mulai bisa membaca. Saya harus menunjukkan kepada mereka kalau tunanetra juga bisa," katanya.
Pipit memulai belajar membaca Al Quran dengan menghafalkan surat-surat pendek atau surat yang ada di bagian akhir Al Quran. Kemudian ia berusaha memahami tulisan Arab braile melalui insting perabaannya.
"Ini kepekaan. Kita mengandalkan insting kepekanaan perabaan," katanya.
Hal yang sama disampaikan oleh Ari (30) penyandang tunanetra lainnya. Warga kelahiran Sukodono, Lumajang itu mengaku harus teliti saat membaca Al Quran. Sebab salah menghitung titik, bacaannya juga ikut salah.
"Harus meneliti. Kadang kita salah mengenali titik saja bacaannya sudah beda," katanya.
Salah satu tenaga pembimbing pada UPT Rehabilitasi Sosial Bina Netra, Yani Soewantoro mengatakan, mereka para penyandang tunanetra menganggap bahwa membaca Al Quran merupakan sebuah kebutuhan.
Baginya tidak mudah membaca Al Quran dengan huruf Arab braile. Bahkan dirinya yang biasa mengajari mereka mengaji masih mengandalkan penglihatan mata.
"Kalau saya masih mengandalkan penglihatan. Kalau anak - anak insting perabaannya sudah luar biasa," katanya.
Biasanya, para penyandang tunanetra itu butuh delapan bulan hingga satu tahun untuk memahami huruf arab braile.
Belum ada Komentar untuk ""Orang yang Melihat Bisa Membaca Al Quran, Kenapa Saya Buta Tak Bisa?"
Posting Komentar